Rabu, 03 Juli 2013

Verifikasi Uang Pajak Yang Kita Bayar


Penerimaan APBN [Yunis1] diperoleh dari berbagai sumber yaitu penerimaan pajak yang meliputi ; Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) &Cukai, dan Pajak lainnya seperti Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor), penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meliputi ; Penerimaan dari sumber daya alam, penerimaan dari setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya. Dari Rp 1.311 Trilyun pendapatan pemerintah, ternyata Rp 1.032 Trilyun berasal dari pajak (APBN 2012). 78% dari Pajak Rakyat.
Demikian dapat dinyatakan bahwa pajak yang dibayar oleh perorangan maupun badan atau perusahaan semakin penting untuk pemasukan kas Negara. Namun yang menjadi pertanyaan umum Wajib Pajak adalah “kemanakan uang pajak yang saya bayarkan ?”. Pertanyaan tersebut sudah menjadi pertanyaan wajib dan favorit bagi sebagian besar Wajib Pajak, masyarakat atau audiens yang hadir dalam setiap sosialisasi yang diselenggarakan oleh kantor pajak. Pertanyaan yang seringkali membuat para pegawai pajak bingung untuk menjawabnya. Bukan karena mereka tidak mampu menjawabnya, tapi lebih tegasnya karena tugas mereka yang memang hanya mengumpulkan uang pajak itu sendiri. Kalau pun dipaksakan untuk menjawab, bisa dipastikan akan muncul pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang semakin menukik dan membuat petugas pajak tersudut.
Ada satu jawaban yang cukup “baik” yang memang benar adanya yaitu dengan menjelaskan posisi  Direktorat Jenderal Pajak  yang  hanya bertugas untuk mengumpulkan pajak dan ada instansi lain yang bertugas untuk memanfaatkannya. Tetapi seperti yang sudah-sudah, jawaban tersebut terkesan hanya sebagai jawaban normatif dan ujung-ujungnya tetap tidak menjawab pertanyaan masyarakat. Tapi salah alamat jika karena itu, masyarakat kemudian marah dan kecewa kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dan yang lebih memprihatinkannya lagi jika malah mogok tidak mau bayar pajak. Pertama yang mesti harus dipahami oleh semua rakyat Indonesia bahwa yang mengalokasikan penggunaan uang pajak 58% hingga 95% untuk aparatur negara bukan wewenang DJP tapi adalah tugas pokok, fungsi dan wewenang Kementerian Negara PPN/Bappenas, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), dan instansi-instansi teknis Kementerian/Lembaga Pemerintah terkait, dengan persetujuan DPR dan DPRD.
Jalan-jalan yang rusak, keamanan yang terganggu, jembatan yang rusak, fasilitas umum yang tidak berfungsi, dan prasarana-prasarana publik lainnya yang tidak sebaik negara-negara maju di Cina, Eropa Barat, Jepang, dan Australia  bukan karena uang pajaknya dikorup oleh pegawai DJP, tapi karena uang pajak yang langsung masuk ke APBN dan APBD, melalui Kas Negara itu, tidak banyak dialokasikan untuk membangun, memperbaiki dan memelihara prasarana-prasarana publik, namun lebih banyak dihabiskan untuk biaya-biaya pejabat-pejabat pusat dan daerah atas persetujuan DPR/DPRD. Maka tidak lah mengherankan jika terlihat melalui media-media massa terdapat banyak pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif, di pusat dan di daerah-daerah, menikmati fasilitas-fasilitas mewah tapi pembangunan, perbaikan dan pemeliharaan prasarana-prasarana publik, terutama di daerah-daerah, sangat minim bahkan hingga kondisinya sangat memprihatinkan sekali.
Tugas dan wewenang yang diamanahkan negara dan Undang-Undang kepada DJP hanyalah mengadministrasikan penghimpunan penerimaan negara dari sektor pajak. DJP samasekali tidak punya wewenang untuk mengelola penggunaan pajak itu. Yang bertugas dan berwenang untuk merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi penggunaan APBN, yang 78% lebih berasal dari pajak, bukan DJP melainkan DJA berkoordinasi dengan Kementerian Negara PPN/Bappenas, instansi-instansi teknis Kementerian/Lembaga Pemerintah terkait lainnya dengan persetujuan DPR atau DPRD untuk persetujuan perumusan, pelaksanaan, pengawasan dan pengevaluasian penggunaan APBD.
Belanja dan pembiayaan Negara sebenarnya telah terstruktur dibuat untuk mengalokasikan APBN yang 78% dari pajak itu. Belanja terdiri atas dua jenis; yang pertama belanja pemerintah pusat, yaitu belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan pemerintah pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan tugas pembantuan). Belanja pemerintah pusat dapat dikelompokkan menjadi; belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembiayaan bunga utang, subsidi BBM dan subsidi Non-BBM, belanja hibah, belanja sosial (termasuk penanggulangan bencana), dan belanja lainnya. Kedua belanja daerah, yaitu belanja yang dibagi-bagi ke pemerintah daerah, untuk kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. belanja daerah meliputi; dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana otonomi khusus. Sedangkan untuk pembiayaan meliputi; pembiayaan dalam negeri, seperti pembiayaan perbankan, privatisasi, surat utang negara, serta penyertaan modal negara. pembiayaan luar negeri, seperti penarikan pinjaman luar negeri, terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri, terdiri atas jatuh tempo dan moratorium.
Jika telah jelas kemana alokasi uang pajak yang dibayarkan, pertanyaan yang perlu decermati adalah “berapa orang yang mengerti atau tahu verifikasi uang pajak yang dibayarkan ?”. Untuk menjawab dan menuntaskan semua pertanyaan tentang alokasi uang pajak tersebut alangkah lebih bijaknya jika Direktorat Jenderal Pajak mengusulkan ke Kementerian Negara PPN/Bappenas dan Direktorat Jenderal Anggaran agar pembayar pajak akan mendapatkan rincian mengenai besarnya pajak yang dibayar dan untuk apa saja uang pajak tersebut ketika berada di tangan pemerintah. Di era informasi seperti saat ini, rakyat harus tahu untuk apa saja uang pajak mereka dibelanjakan karena pemerintah selalu mengatakan rakyat berhak tahu ke mana saja uang pajak yang mereka bayarkan.
Bila kita memperhatiakan kebiasaan masyarakat Indonesia saat belanja di swalayan-swalayan, lihat saja, banyak yang memelototi kuitansi yang mereka terima. Mereka ingin tahu perincian harga belanjaan mereka. Rincian ala kuitansi belanjaan ini semestinya juga diterapkan untuk pajak. Maka merupakan kebijakan yang baik bila Wajib Pajak diwajibkan membayar pajak, di sisi lain pemerintah juga wajib memberi tahu kita, untuk apa saja pajak yang kita bayar.
Dengan demikian diharapakan Wajib Pajak akan lebih taat dan membayar pajak tepat waktu, sebab membayar pajak sama dengan beribadah, karena sebenarnya hakikinya pajak digunakan kembali untuk kepentingan membangun masyarakat termasuk menyejahterakan rakyat. Membayar pajak sama halnya kita berbuat ibadah karena mengaskan akan kesholehan sosial.
Perilaku pelayanan dan sistem pajak juga mempunyai peran penting terhadap kebrhasilan pemungutan dan penggunaan pajak. Signifikasinya sangat berat atas output capaian. Kita bias melihat reformasi yang telah dilakukan Negara-negara maju, misalnya Amerika. Di Amerika dapat dilihat ada reformasi pajak yang dilakukan tentang transparansi alokasi penggunaan pajak, mislanya, ada pajak yang langsung teralokasi terhadap pembangunan itu dan ini, dan diikuti penyederhanaan sistemnya. Tapi sekarang di Indonesia juga sudah mulai bagus sistemnya, hanya saja bagaimana memaksimalkannya. Transparansi dan tata kelola keuangan hasil pajak yang baik harus terus dilakukan. Sebab saat ini masyarakat selaku pembayar pajak terus terjaga. Keprcayaan masyarakat ini menjadi penting, jangan sampai ualah pegawai pajak yang merusak kepercayaan masyarakat. Maka dari itu harus diyakinkan betul Wajib Pajak bahwasannya membayar pajak itu sama dengan orang yang berbuat baik dan ibadah, karena uang  pajak dipakai untuk pembangunan masyarakatnya kembali.
Menurut saya Direktorat Jenderal Pajak sudah sangat baik dan terukur dengan system yang mendorong profesionalisme. Namun tetap. Sistem pengawasan atau pengendalian internal harus mendapat tekanan tersendiri agar bebas dari penyelewengan pajak yang nakal, untuk itulah sistem pengnadalian internal harus diperkuat. Supaya pelayanan pajak semakin baik dan profesional saya menyarankan, terus dorong profesionalisme dan terus lakukan pengawasan yang ketat karena system perilaku birokrasi selalu rentan akan perubahan. Sepanjang ada transparansi dan control yang ketat, parameternya sudah jelas. Apalagi didukung whistleblower atau mata-mata internal dari kalangan pajak sendiri. Dengan begitu keterjaminan pengelolaan pajak dapat terlaksana dengan baik. [Yunis2] 

 [Yunis1]Anggaran dan Perencanaan Biaya Negara
 [Yunis2]Artikel Lomba Yunis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar