Penerimaan APBN [Yunis1] diperoleh dari berbagai sumber
yaitu penerimaan pajak yang meliputi ; Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) &Cukai, dan Pajak lainnya seperti Pajak
Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor), penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) meliputi ; Penerimaan dari sumber daya alam, penerimaan dari setoran
laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya. Dari Rp 1.311 Trilyun
pendapatan pemerintah, ternyata Rp 1.032 Trilyun berasal dari pajak (APBN
2012). 78% dari Pajak Rakyat.
Demikian
dapat dinyatakan bahwa pajak yang dibayar oleh perorangan maupun badan atau
perusahaan semakin penting untuk pemasukan kas Negara. Namun yang menjadi
pertanyaan umum Wajib Pajak adalah “kemanakan uang pajak yang saya bayarkan ?”.
Pertanyaan tersebut sudah menjadi
pertanyaan wajib dan favorit bagi sebagian besar Wajib Pajak, masyarakat atau
audiens yang hadir dalam setiap sosialisasi yang diselenggarakan oleh kantor
pajak. Pertanyaan yang seringkali membuat para pegawai pajak bingung untuk
menjawabnya. Bukan karena mereka tidak mampu menjawabnya, tapi lebih tegasnya
karena tugas mereka yang memang hanya mengumpulkan uang pajak itu sendiri.
Kalau pun dipaksakan untuk menjawab, bisa dipastikan akan muncul
pertanyaan-pertanyaan selanjutnya yang semakin menukik dan membuat petugas
pajak tersudut.
Ada
satu jawaban yang cukup “baik” yang memang benar adanya yaitu dengan
menjelaskan posisi Direktorat Jenderal Pajak yang hanya
bertugas untuk mengumpulkan pajak dan ada instansi lain yang bertugas untuk
memanfaatkannya. Tetapi seperti yang sudah-sudah, jawaban tersebut terkesan
hanya sebagai jawaban normatif dan ujung-ujungnya tetap tidak menjawab
pertanyaan masyarakat.
Tapi salah alamat jika karena itu,
masyarakat kemudian marah dan kecewa kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dan yang lebih memprihatinkannya lagi jika malah mogok tidak mau bayar pajak. Pertama
yang mesti harus dipahami oleh semua rakyat Indonesia bahwa
yang mengalokasikan penggunaan uang pajak 58% hingga 95% untuk aparatur negara bukan wewenang DJP
tapi adalah tugas pokok, fungsi dan wewenang Kementerian Negara
PPN/Bappenas, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), dan instansi-instansi teknis
Kementerian/Lembaga Pemerintah terkait, dengan persetujuan DPR dan DPRD.
Jalan-jalan yang rusak, keamanan
yang terganggu, jembatan yang rusak, fasilitas umum yang tidak berfungsi, dan
prasarana-prasarana publik lainnya yang tidak sebaik negara-negara maju di Cina,
Eropa Barat, Jepang, dan Australia bukan karena uang
pajaknya dikorup oleh pegawai DJP, tapi karena uang pajak yang langsung masuk ke APBN dan APBD, melalui Kas Negara itu, tidak banyak dialokasikan untuk
membangun, memperbaiki dan memelihara prasarana-prasarana publik, namun lebih
banyak dihabiskan untuk biaya-biaya pejabat-pejabat pusat dan daerah atas
persetujuan DPR/DPRD. Maka tidak lah mengherankan jika terlihat melalui
media-media massa terdapat banyak pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif, di
pusat dan di daerah-daerah, menikmati fasilitas-fasilitas mewah tapi
pembangunan, perbaikan dan pemeliharaan prasarana-prasarana publik, terutama di
daerah-daerah, sangat minim bahkan hingga kondisinya sangat memprihatinkan
sekali.
Tugas dan wewenang yang
diamanahkan negara dan Undang-Undang kepada DJP hanyalah mengadministrasikan penghimpunan penerimaan negara dari sektor pajak.
DJP samasekali tidak punya wewenang untuk
mengelola penggunaan pajak itu. Yang bertugas dan berwenang
untuk merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi penggunaan APBN, yang 78% lebih
berasal dari pajak, bukan DJP melainkan DJA berkoordinasi dengan Kementerian
Negara PPN/Bappenas, instansi-instansi teknis Kementerian/Lembaga Pemerintah
terkait lainnya dengan persetujuan DPR atau DPRD untuk persetujuan perumusan,
pelaksanaan, pengawasan dan pengevaluasian penggunaan APBD.
Belanja
dan pembiayaan Negara sebenarnya telah terstruktur dibuat untuk mengalokasikan
APBN yang 78% dari pajak itu. Belanja terdiri atas dua jenis; yang
pertama belanja pemerintah pusat,
yaitu belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan pemerintah
pusat, baik yang dilaksanakan di pusat maupun di daerah (dekonsentrasi dan
tugas pembantuan). Belanja pemerintah pusat dapat dikelompokkan menjadi; belanja
pegawai, belanja barang, belanja modal, pembiayaan bunga utang, subsidi BBM dan
subsidi Non-BBM, belanja hibah, belanja sosial (termasuk penanggulangan
bencana), dan belanja lainnya. Kedua belanja
daerah, yaitu belanja yang dibagi-bagi ke pemerintah daerah, untuk
kemudian masuk dalam pendapatan APBD daerah yang bersangkutan. belanja
daerah meliputi; dana bagi hasil, dana alokasi umum,
dana alokasi khusus,
dana otonomi khusus.
Sedangkan untuk pembiayaan meliputi; pembiayaan dalam negeri, seperti
pembiayaan perbankan, privatisasi, surat utang negara,
serta penyertaan modal negara. pembiayaan luar negeri, seperti penarikan
pinjaman luar negeri, terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek, pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri, terdiri atas jatuh tempo dan moratorium.
Jika telah jelas
kemana alokasi uang pajak yang dibayarkan, pertanyaan yang perlu decermati
adalah “berapa orang yang mengerti atau tahu verifikasi uang pajak yang
dibayarkan ?”. Untuk menjawab dan menuntaskan semua pertanyaan tentang alokasi
uang pajak tersebut alangkah lebih bijaknya jika Direktorat Jenderal Pajak
mengusulkan ke Kementerian Negara PPN/Bappenas dan Direktorat Jenderal Anggaran
agar pembayar pajak akan mendapatkan rincian mengenai besarnya pajak yang
dibayar dan untuk apa saja uang pajak tersebut ketika berada di tangan
pemerintah. Di era informasi seperti saat ini, rakyat harus tahu untuk apa saja
uang pajak mereka dibelanjakan karena pemerintah selalu mengatakan rakyat
berhak tahu ke mana saja uang pajak yang mereka bayarkan.
Bila
kita memperhatiakan kebiasaan masyarakat Indonesia saat belanja di
swalayan-swalayan, lihat saja, banyak yang memelototi kuitansi yang mereka
terima. Mereka ingin tahu perincian harga belanjaan mereka. Rincian ala
kuitansi belanjaan ini semestinya juga diterapkan untuk pajak. Maka merupakan
kebijakan yang baik bila Wajib Pajak diwajibkan membayar pajak, di sisi lain
pemerintah juga wajib memberi tahu kita, untuk apa saja pajak yang kita bayar.
Dengan
demikian diharapakan Wajib Pajak akan lebih taat dan membayar pajak tepat
waktu, sebab membayar pajak sama dengan beribadah, karena sebenarnya hakikinya
pajak digunakan kembali untuk kepentingan membangun masyarakat termasuk
menyejahterakan rakyat. Membayar pajak sama halnya kita berbuat ibadah karena
mengaskan akan kesholehan sosial.
Perilaku
pelayanan dan sistem pajak juga mempunyai peran penting terhadap kebrhasilan
pemungutan dan penggunaan pajak. Signifikasinya sangat berat atas output
capaian. Kita bias melihat reformasi yang telah dilakukan Negara-negara maju,
misalnya Amerika. Di Amerika dapat dilihat ada reformasi pajak yang dilakukan
tentang transparansi alokasi penggunaan pajak, mislanya, ada pajak yang
langsung teralokasi terhadap pembangunan itu dan ini, dan diikuti
penyederhanaan sistemnya. Tapi sekarang di Indonesia juga sudah mulai bagus
sistemnya, hanya saja bagaimana memaksimalkannya. Transparansi dan tata kelola
keuangan hasil pajak yang baik harus terus dilakukan. Sebab saat ini masyarakat
selaku pembayar pajak terus terjaga. Keprcayaan masyarakat ini menjadi penting,
jangan sampai ualah pegawai pajak yang merusak kepercayaan masyarakat. Maka
dari itu harus diyakinkan betul Wajib Pajak bahwasannya membayar pajak itu sama
dengan orang yang berbuat baik dan ibadah, karena uang pajak dipakai untuk pembangunan masyarakatnya
kembali.
Menurut
saya Direktorat Jenderal Pajak sudah sangat baik dan terukur dengan system yang
mendorong profesionalisme. Namun tetap. Sistem pengawasan atau pengendalian
internal harus mendapat tekanan tersendiri agar bebas dari penyelewengan pajak
yang nakal, untuk itulah sistem pengnadalian internal harus diperkuat. Supaya
pelayanan pajak semakin baik dan profesional saya menyarankan, terus dorong
profesionalisme dan terus lakukan pengawasan yang ketat karena system perilaku
birokrasi selalu rentan akan perubahan. Sepanjang ada transparansi dan control
yang ketat, parameternya sudah jelas. Apalagi didukung whistleblower atau mata-mata internal dari kalangan pajak sendiri.
Dengan begitu keterjaminan pengelolaan pajak dapat terlaksana dengan baik. [Yunis2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar